Kita tentu tidak asing dengan istilah coaching, apalagi untuk para pecinta olahraga. Apa sebenarnya coaching itu? Sudah tepatkah pemahaman kita tentang coaching? Istilah coaching bisa diartikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Dalam dunia pendidikan, coaching bisa diterapkan dan menjadi salah satu alternatif penyelesaian masalah.
Sekolah sebagai tempat tumbuh kembang siswa memberikan sumbangan signifikan dalam pembentukan pola pikir dan karakter siswa. Berawal dari kondisi latar belakang dan karakteristik siswa yang beragam akan memunculkan dinamika masalah yang juga bervariasi. Kita sering menjumpai siswa yang terkendala dalam memahami materi pembelajaran dari sisi penguasaan kognitif, ada juga masalah siswa yang kurang mahir dalam penguasaan keterampilan, atau ada pula yang bermasalah dalam hal sikap dan kedisiplinan.
Selain hal tersebut di atas, bukan rahasia lagi bahwa banyak dari kita yang menghendaki suatu keteraturan secara massal. Kita sering beranggapan bahwa penerimaan dan diamnya siswa merupakan sebuah kepatuhan dan suasana kondusif yang ideal meskipun belum tentu hal itu juga dirasa nyaman oleh siswa. Tanpa kita sadari banyak siswa yang memiliki dua sisi berbeda saat di kelas dan di luar sekolah. Sering kita dikejutkan dengan masalah unggahan siswa di dunia maya yang terkesan kurang sopan padahal saat di kelas mereka termasuk siswa pendiam. Saat memiliki masalah, banyak dari mereka yang lebih senang melampiaskan unek-uneknya melalui sosial media dengan makian, umpatan, atau sumpah serapah daripada meminta bantuan atau nasihat dari guru. Adanya berbagai masalah kompleks seperti ini dapat kita minimalisir dengan peran kita sebagai guru sehingga pendidikan yang kita berikan pada siswa bisa benar-benar terinternalisasi dalam diri mereka di berbagai keadaan.
Guru memiliki berbagai peran di sekolah. Sebagai pemimpin pembelajaran, adakalanya guru harus menjadi konselor, mentor, atau bahkan juga coach. Saat guru membantu siswa menyelesaikan masalahnya dengan berfokus pada solusi maka pada saat itu ia menjalankan perannya sebagai konselor. Ketika guru membagikan pengalamannya untuk membantu siswa mengembangkan diri, maka guru telah melakukan tugasnya sebagai mentor. Sedangkan jika guru mengarahkan siswa untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan memaksimalkan potensi siswa tersebut maka ia telah berperan sebagai coach. Dari sini bisa kita pahami bahwa hal yang membedakan coaching dari konseling dan mentoring yaitu pada fungsi dan peran guru untuk memunculkan potensi siswa agar mampu menyelesaikan masalahnya sendiri daripada memberinya saran secara langsung berupa solusi.
Namun bagaimanakah agar siswa bisa mempercayakan permasalahannya untuk dibimbing oleh guru? Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang tiba-tiba terjadi begitu saja. Butuh proses panjang dan kontinyu untuk bisa membuat siswa hadir dan terbuka dengan permasalahan yang mereka hadapi. Kuncinya terletak pada pola interaksi yang dibangun oleh guru. Pemahaman yang benar tentang prinsip coaching akan membuat guru mampu memilih tindakan secara cepat dan tepat. Guru bisa melatih kemampuan coaching tersebut dengan terlebih dahulu mengasah kemampuan komunikasi asertif, pendengar aktif, bertanya efektif, dan umpan balik positif.
Asertif adalah sikap mampu berkomunikasi dengan jujur dan tegas, namun tetap menghargai dan menjaga perasaan orang lain. Guru perlu menerapkan kemampuan sosial emosionalnya dengan baik. Bangun komunikasi secara akrab yaitu dengan prinsip kemitraan sehingga siswa akan merasa lebih nyaman dalam menyampaikan permasalahan yang dihadapinya. Saat menerima informasi tersebut, guru harus mampu mengelola emosinya dengan stabil sehingga tetap bisa bersikap netral, tidak mendominasi dan memberikan respon secara positif.
Selanjutnya guru juga harus mampu berempati kepada siswa agar bisa melihat mereka dari sudut pandang yang tepat. Meski demikian guru tidak boleh terbawa perasaan saat mendengarkan permasalahan yang disampaikan siswa. Gali informasi secara akurat dan arahkan siswa pada kesadaran terhadap kekuatan dan kelebihan yang mereka miliki sehingga saat siswa berhasil menemukan solusi bagi dirinya maka siswa tersebut akan merasakan sebuah kepuasan dan peningkatan kepercayaan diri. Sebaliknya, jika siswa menemui kendala atau kegagalan maka guru kembali memberikan arahan dan pendampingan agar ia cepat bangkit dan mencari jalan lain untuk menyelesaikan permasalahannya tersebut. Pada proses coaching guru melatih siswa untuk mandiri dan bernalar sesuai kemampuan mereka sehingga pada saatnya nanti mereka dapat survive jika menemui permasalahan yang lain. Praktik coaching ini tidaklah mudah karena membutuhkan kesabaran dan juga perhatian penuh.
Di sekolah, coaching bisa dilakukan secara klasikal atau individual tergantung dari tujuan yang ingin dicapai. Pelaksanaannya bisa dilakukan sendiri oleh guru atau bisa juga dengan melibatkan guru lain untuk berkolaborasi. Prinsip utama yang harus selalu diingat yaitu bahwa setiap siswa memiliki kodratnya masing-masing sehingga akan tepat jika guru mengarahkan siswa untuk menemukan kekuatan pada dirinya agar dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri dan berkembang menjadi lebih baik. Jika dianalogikan, kita tidak bisa meminta burung untuk berenang saat menyeberangi sebuah sungai besar. Ia harus melalui tantangan tersebut dengan kodratnya sebagai burung yaitu terbang bebas menembus cakrawala. Demikianlah praktik coaching yang sangat memerdekakan jiwa siswa untuk berkembang dalam menghadapi setiap tantangan kehidupan, tidak memaksa namun memberi kuasa untuk tumbuh merdeka dan bertanggungjawab.